Pada
tahun 2013, NM (14), siswi kelas 9 SMP Negeri 1 Kedunggalar, Kabupaten Ngawi
belum mau masuk sekolah. Anak pasangan Sarmi (46) dan Mungin (48) warga
Kedunggalar ini masih merasakan pusing di bagian kepalanya dan trauma berat
atas kasus kekerasan yang menimpanya.
Namun,
oknum guru matematika yang diduga menampar korban hanya gara-gara tidak
mendengar panggilan Wakil Kepala SMP Negeri 1 Kedunggalar Bagian Kesiswaan,
Lasjuri itu justru membantah menampar korban.
Menurutnya,
dirinya hanya mendorong kepala siswinya itu karena tak mendengar panggilannya
melalui pengeras suara saat makan siang di kantin sekolahnya itu. Akan tetapi
sejumlah saksi melihat oknum guru matematika yang dianggap siswa arogan itu
menampar korban.
"Saat
itu para murid saya panggil untuk menerima dana Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Satu siswi ini belum datang. Kemudian saya panggil lagi pakai speaker juga
tidak kunjung datang. Karena saya jengkel saya cari lalu ketemu terus saya
marahi. Tetapi tidak saya tampar, cuma saya dorong kepalanya sambil saya tanya
kemana saja tadi saya panggil gak datang-datang," terangnya kepada Surya,
Senin (9/9/2013) di sekolahnya.
Sementara,
Kepala Dinas Pendidikan Pemkab Ngawi, Abimanyu mengaku sudah memerintahkan
Kabid Pendidikan Menengah (Dikmen) dan Pengawas Sekolah untuk mengklarifikasi
kasus kekerasan dalam duni pendidikan itu.
"Kalau
memang oknum guru bertindak kekerasan kepada siswi tersebut, tentu ada sanksi
berupa pembinaan, nonjob dan bahkan mutasi untuk sanksi terberat. Tetapi kasus
ini masih dalam penyelidikan Dikmen dan Pengawas," pungkasnya.
Hingga
kini, korban masih enggan masuk sekolah lantaran trauma bertemu oknum guru yang
ringan tangan itu. Sedangkan orangtua korban berencana melaporkan kasus
kekerasan ini ke polisi agar kasus ini berlanjut dalam proses hukum.
Diberitakan
sebelumnya, NM (14) siswi kelas 9 SMP Negeri 1 Kedunggalar, Kabupaten Ngawi
terpaksa hanya tergolek di kamar pembaringan rumahnya sejak 2 hari terakhir.
Dalam kasus ini, dapat disimpulkan bahwa korban (NW) mengalami trauma yang mengakibatkan korban tidak mau masuk sekolah. Trauma ini dapat ditangani dengan terapi psikoanalisis menggunakan teknik Asosiasi Bebas. Teknik ini dapat membantu mengeluarkan emosi-emosi dalam diri korban yang tidak dapat terealisasikan. Terapi ini dilakukan dengan cara klien (dalam hal ini si korban) berbaring dan terapis berada sejajar dengan kepala klien. Klien diminta untuk mengungkapkan dan meluapkan semua perasaan ataupun kata-kata tentang perihal yang ada dalam ketidaksadarannya secara bebas, terbuka (tidak ada yang ditutup-tutupi), walaupun perihal itu menyakitkan, tidak logis atau tidak relevan. Lalu semua perihal yang diucapkan klien akan ditafsirkan sebagai ungkapan dari pengalaman-pengalaman yang ditekan ke dalam alam bawah sadarnya (di repress).
Sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/09/09/siswi-smp-trauma-ketemu-guru-yang-menamparnya
0 komentar:
Posting Komentar